Selama Menjabat Walikota Banda Aceh, Illiza Dinilai Tong Kosong Nyaring Bunyinya
Banda Aceh – Selepas berpulangnya ke rahmatullah walikota Banda Aceh Alm. Mawardi Nurdin yang juga ketua Demokrat pada 8 Februari 2014 silam, kepemimpinan Banda Aceh selama 3 tahun berada di bawah kendali penuh Illiza Saaduddin Djamal di dampingi dengan Zainal Arifin. Namun kepemimpinan Illiza Saaduddin Djamal jauh panggang dari api, tak lagi berjalan sesuai harapan masyarakat.
Selain pencitraan dengan jualan syariat islam hampir tak ada kinerja Illiza yang berjalan sesuai dengan harapan masyarakat kota Banda Aceh saat itu. Sehingga kesannya di masyarakat saat menjabat 3 tahun itu, Illiza tak lebih dari menghabiskan anggaran daerah untuk proyek yang tak jelas manfaatnya ke pada masyarakat, salah satunya gedung Banda Aceh Education Madani Center (BEMC) yang menyerap ratusan milyar rupiah dan akhirnya menjadi gedung terbengkalai yang tak jelas manfaatnya bagi masyarakat.
Penilaian ini disampaikan oleh Ketua Forum Aceh Bersatu (FAB) Saiful Mulki, Senin 14 Oktober 2024.
“Jika kita lihat dari aspek kesejahteraan ASN dan tenaga kontrak, selama Illiza menjabat juga tidak ada kenaikan yang signifikan,” lanjutnya.
Saiful menambahkan, selama Illiza memimpin Banda Aceh juga bisa dilihat bahwa tingkat kemiskinan masih relatif tinggi, diakhir masa jabatannya 2017 saat itu angka kemiskinan Banda Aceh masih 7,44 persen.
Belum lagi, kata Saiful, di masa Illiza menjabat dapat dilihat langsung bahwa UMKM sangat sulit berjalan karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan dengan dalih penegakan syariat islam. “Kondisinya saat itu begitu dilematis bagi UMKM, pembatasan-pembatasan yang dilakukan dengan dalih penegakan syariat, justru menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil padahal itu semua tak lebih dari pencitraan. Faktanya masyarakat masih mengingat bagaimana seorang ajudan walikota dan seorang pejabat yang sempat tertangkap oleh WH justru tidak diproses hukumannya, tapi giliran masyarakat kecil salah sedikitpun dikait-kaitkan dengan syariat islam demi sebuah pencitraan. Ini adalah fakta pilu kepemimpin Illiza saat itu yang masih membekas di hati masyarakat Banda Aceh,” jelasnya.
Apalagi dengan upaya Illiza yang tega mengeluarkan perwal kenaikan tarif PDAM di akhir masa jabatannya 2017 lalu. Ini sungguh memilukan hati masyarakat di tengah ekonomi yang sulit.
Dia menambahkan, dari perjalanan Illiza yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di Banda Aceh dulu bisa dilihat, bahwa kepedulian terhadap masyarakat hingga pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat sangatlah minim dilakukan, namun acting berkedok syariat begitu masif digencarkan. “Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Illiza saat menjabat Walikota Banda Aceh tak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya,” ujarnya.
Melihat kondisi itu, kata Saiful, tentunya jadi bahan renungan bagi masyarakat Banda Aceh bahwa memang ada benarnya apa yang telah disampaikan oleh ulama karismatik Aceh Tgk Syekh Hasanoel Basry terkait kepemimpinan perempuan yang diharamkan oleh Al Qur’an dan hadist. “Secara logis kita masyarakat bisa berpikir, bahwa sesuatu yang dilarang dalam agama itu pastilah karena mudhoratnya lebih besar daripada manfaatnya, sehingga kepemimpinan perempuan itu menjadi penegasan larangan oleh ulama kita. Bagaimana mungkin dijual isu penegakan syariat islam, sementara calon pemimpin perempuan itu sendiri sesuai penyampaian ulama dilarang di dalam Islam. Apalagi jelas-jelas kata Abu Mudi dalam syiarnya bahwa pemimpin perempuan dipilih berdosa yang memilih, dilantik pun juga bisa berdosa yang melantik, ini kan bisa -bisa jadi dosa berjamaah jika pemimpinnya perempuan,” tegasnya.(RED)